Rasional atau Perasaan: Kapan Seharusnya Kita Menggunakannya dalam Pengambilan Keputusan?
Dalam pengambilan keputusan, kadang kita melibatkan pikiran dan dalam konteks lain, kita menggunakan perasaan. Namun tak jarang kita salah menggunakan metode pengambilan keputusan, yang semestinya menggunakan rasional malah menggunakan perasaan, ataupun sebaliknya.
Setiap manusia dihadapkan pada keputusan setiap hari—dari yang sepele hingga yang menentukan arah hidup. Namun, yang kerap kali menjadi dilema bukan hanya apa yang harus dipilih, melainkan bagaimana kita memilihnya: dengan logika atau dengan perasaan?
Sayangnya, banyak dari kita masih salah kaprah dalam menentukan alat utama dalam pengambilan keputusan. Hal-hal yang seharusnya ditimbang dengan pikiran seringkali kita selesaikan dengan perasaan, dan begitu pula sebaliknya. Padahal, menurut Arsjad Rasjid, pemimpin dan individu yang baik justru tahu kapan harus mengedepankan logika dan kapan harus mendengarkan suara hati.
Logika adalah pendekatan berbasis data, fakta, dan pertimbangan objektif. Kita menggunakan logika ketika:
Mengambil keputusan finansial: Investasi, anggaran, atau pembelian besar membutuhkan kalkulasi matang, bukan sekadar dorongan hati.
Menyusun strategi: Baik dalam karier maupun bisnis, kita butuh penilaian objektif untuk mengukur risiko dan peluang.
Menangani konflik kompleks: Dalam organisasi atau kepemimpinan, pendekatan logis bisa meredam ego dan mendorong solusi yang adil.
Namun, terlalu logis juga bisa membuat kita tampak dingin, kurang empati, dan kehilangan intuisi yang kadang justru membawa solusi lebih manusiawi.
Mengutip dari IDN Times, keputusan yang melibatkan hati seringkali memberikan rasa damai, karena selaras dengan nilai dan identitas diri. Kita cenderung menggunakan perasaan ketika:
Menghadapi persoalan relasi atau sosial: Persahabatan, keluarga, cinta—semuanya tidak bisa didekati hanya dengan logika.
Mengejar tujuan hidup atau passion: Terkadang, keputusan untuk resign dari pekerjaan stabil demi mengejar impian bukan karena logis, tapi karena hati sudah lelah berpura-pura.
Situasi yang tidak bisa dijelaskan dengan angka: Intuisi kadang datang dari pengalaman batin yang tidak terlihat, tapi terasa kuat.
Namun menurut artikel IDN Times, keputusan berbasis perasaan bisa cenderung memaksa ketika perasaan itu didorong oleh trauma, tekanan sosial, atau emosi sesaat. Di sinilah bahayanya: keputusan yang seolah "dari hati", ternyata hanya hasil dari luka lama yang belum sembuh.
Menyeimbangkan logika dan perasaan adalah seni. Beberapa panduan berikut bisa membantu:
SITUASI | GUNAKAN RASIONAL | GUNAKAN PERASAAN |
---|---|---|
Membeli rumah / investasi | ✔️ | ❌ |
Memilih pasangan hidup | ❌ | ✔️ (dengan dukungan logika) |
Mengambil keputusan bisnis | ✔️ | ✔️ (dalam konteks etika & empati) |
Menangani konflik dengan teman | ❌ | ✔️ |
Memilih jurusan kuliah | ✔️ | ✔️ (kombinasi penting) |
Kuncinya, seperti yang disampaikan Arsjad Rasjid, adalah tidak mengorbankan satu sisi demi sisi lainnya, tapi menciptakan harmoni antara keduanya. Gunakan logika sebagai fondasi, dan perasaan sebagai kompas arah.
Dalam pengambilan keputusan, tidak ada metode tunggal yang berlaku untuk semua situasi. Terkadang kita harus menjadi matematikawan yang rasional, di lain waktu menjadi penyair yang peka terhadap rasa. Salah satunya saja tidak cukup.
Gunakan pikiran untuk menganalisis, tapi biarkan hati menjadi penentu apakah keputusan itu sesuai dengan jati diri dan nilai-nilai Anda.
Karena keputusan yang benar bukan hanya yang “masuk akal”, tapi juga yang membawa ketenangan di hati.