Bagaimana Bisa Seorang Pemimpin Berkata Perang Terhadap Korupsi, Tapi Menyuap Rakyat Demi Kursi?
Seorang pemimpin sejati mestinya berjalan dengan kejujuran dan integritas. Namun, bagaimana jika yang mengaku ingin memerangi korupsi justru menempuh jalan curang untuk meraih kekuasaan? Artikel ini mengajak kita menelisik ironi pemimpin yang mengkhianati visinya sendiri demi kursi kekuasaan, dan mengapa cara yang buruk tak pernah bisa membenarkan tujuan yang baik.
"Yang berlaku bukan 'tujuan menghalalkan cara', sebab 'tujuan' itu tidak dirumuskan. Akhirnya 'cara' itu jadi tujuan."
— Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 7
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemukan individu yang memiliki tujuan mulia—seperti membangun perubahan, menegakkan keadilan, atau membawa kemajuan. Namun, tidak sedikit dari mereka yang pada akhirnya memilih jalur keliru untuk mencapai tujuan tersebut. Salah satu contoh yang paling nyata adalah dalam dunia politik: seorang calon pemimpin dengan visi yang sangat baik justru menggunakan money politics untuk meraih kekuasaan.
Mempunyai visi untuk membawa perubahan adalah fondasi penting dalam kepemimpinan. Namun, tujuan yang baik saja tidak cukup jika cara mencapainya bertentangan dengan nilai moral dan hukum. Menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan adalah bentuk pragmatisme berbahaya yang bisa menghancurkan integritas seseorang dan merusak kepercayaan publik.
Bayangkan seorang calon pemimpin yang menjanjikan pendidikan gratis, pelayanan publik yang lebih cepat, dan pemberantasan korupsi. Namun saat kampanye, ia menyuap rakyat dengan uang, sembako, atau janji-janji jabatan. Apa yang terjadi?
Meski niat awalnya tampak baik, cara yang ia tempuh sudah mencoreng nilai moral dan etika. Lebih parah lagi, saat seseorang terpilih dengan cara tidak jujur, ia akan merasa berutang pada sponsor atau pemodal kampanye. Hal ini berisiko membuatnya korup dan tidak lagi berpihak pada rakyat.
Cara mencerminkan karakter – Seorang pemimpin sejati tidak hanya dilihat dari ucapannya, tapi dari bagaimana ia mencapai tujuannya.
Menentukan legitimasi – Rakyat tidak hanya melihat hasil, tetapi juga proses. Kemenangan yang diraih lewat kecurangan akan kehilangan legitimasi moral.
Mewariskan budaya – Ketika cara buruk dianggap normal, generasi berikutnya pun akan meniru pola yang sama.
Kita sebagai masyarakat juga memiliki peran penting. Jangan mudah tergiur dengan iming-iming sesaat. Nilailah pemimpin dari konsistensinya antara ucapan dan tindakan. Jangan biarkan tujuan besar dicapai dengan cara-cara kotor, karena akhirnya yang dirugikan adalah rakyat sendiri.
Dalam hidup dan terutama dalam kepemimpinan, cara menentukan nilai dari tujuan yang ingin dicapai. Kita tidak bisa memisahkan etika dari proses, karena perubahan yang benar hanya bisa terwujud lewat jalan yang benar pula.
Sebagus apa pun visi seseorang, jika ia mengandalkan cara yang salah, maka yang tumbuh bukan kepercayaan, melainkan luka.